Brand New Day
‘Wishing you a brand new day..’ Kalimat pendek penuh perhatian itu selalu menyertai dalam setiap pesan pendek (sms) seorang kawan terbaik saya. Tentu saya menerima pesan seperti itu dengan kegembiraan hati dan rasa syukur. Bagi saya, menjadi bagian di dalam doa atau asa yang baik dan terucap secara penuh ikhlas merupakan awal dari kebaikan.
Artinya, jika seseorang dapat memanjatkan asa yang berketulusan untuk sahabat atau sejawat atau siapa saja; maka pasti di dalam doa itu ada rasa sayang yang muaranya selalu hanya kepada kebaikan. Pun bagi sosok yang menjadi bagian di dalam doa itu; semoga selalu di dalam keselamatan dan diliputi berkah setidaknya karena dua perkara. Pertama, doa tadi terijabah, dan kedua, karena ia senantiasa memiliki alasan baik untuk melakukan perilaku serupa yang bersifat resiprokal. Dalam keadaan demikian, tentu, peran resiprokal tadi juga merupakan pertimbangan yang sangat baik bagi setiap orang untuk menjadikan dirinya sebagai mata air sekaligus muara kebaikan.
Hal yang kemudian menjadi penggugah kesadaran adalah; saya senantiasa bertanya pada diri sendiri. Seberapa besar hasrat dan ikhtiar yang dapat ditunaikan untuk mengejawantahkan segenap asa dan doa tadi menjadi terbit kebaikan, semaksimal daya, setiap hari? Hal yang demikian itu, tentu teramat elok dipandang sebagai keniscayaan karena ajaran kebenaran mengatakan bahwa rahmat dan keselamatan itu akan menghampiri hanya jika terdapat bilangan kebaikan yang bertambah setiap hari. Bilangan kebaikan itulah yang kemudian menjadi suar pencerahan. Dalam keadaan selain itu, helaan nafas dan daya daya upaya hanya bermuara kepada kerugian dan nestapa.
Berkait dengan persoalan kecerahan dan ikhtiar pencerahan dalam perspektif budaya dan kehidupan kampus, saya dan seorang sejawat di Jurusan Fisika sempat terlibat diskusi yang sangat konstruktif dengan boss sekali gus sahabat saya Professor Ari Handono Ramelan. Esensinya adalah suatu yang sangat sangat sederhana dan mendasar. Karena kami bertiga sama-sama orang fisika, maka ketika berbicara soal cerah mencerahkan, kami pun bersepakat bahwa parameter terukurnya adalah skala intensitas. Kenapa intensitas? [Maaf, fisika lagi] Karena intensitas itu bersifat kuadratik sebagaimana halnya besaran energi.
Implikasinya dalam perspketif manajemen adalah kesadaran akan pesan dari hukum alam yang mengajarkan bahwa perubahan pola dan budaya berprestasi itu menyerupai aliran energi dalam gejala transport (transport phenomena). Dinamika dan kemudian kesetimbangan baru yang lebih tinggi muncul mana kala terdapat transfer energi dari aras yang lebih tinggi ke aras yang berada di bawahnya. Gejala ini dapat dibutkikan secara sahih terjadi pada keadaan sub atomik maupun pada skala kosmos. Maha Suci Sang Maha Membelajarkan yang telah membukakan bilik pengetahuan kepada manusia untuk memahami hal itu.
Interpretasi sederhananya adalah bahwa jika kita berharap terbit baiknya perubahan [menuju keselamatan dan kejayaan] maka, kita sebagai sistem, harus memiliki cara dan kemampuan pengendalian yang memastikan aliran energi terjadi dengan baik pula. Bagaimana caranya? Saya teringat penggalan dialog [dalam film laga] antara seorang master karate yang diperankan oleh Yastaki Kurata dengan seorang pelajar ahli kung fu yang diperankan oleh Jet Lee. Di sela pertarungan, sang guru karate memberi pesan bahwa bukanlah cara untuk mengalahkan musuh yang menjadi tujuan seorang satria belajar bela diri melainkan jalan bijaksana yang diyakininya untuk memaksimalkan energi, setiap hari.
Pada titik ini saya ingin kembali lagi ke persoalan kekuatan hasrat dan ikhtiar untuk menggapai tataran energi maksimal setiap hari. Dalam diskusi dengan Professor Ari Handono Ramelan, secara kocak kami bertiga sempat berkhayal membagi luas kawasan kampus kita dengan jumlah kepala civitas akademika UNS yang ribuan itu. Dari hasil pembagian itu, tentu dengan pembobotan pula, maka akan ditemukan area maya yang kemudian dibangun menjadi comfort teritory masing-masing civitas akademika sesuai dengan fungsi dan peran akademik mereka masing-masing pula. Wow…., jika kemudian khayalan ini dikhayalkan lagi dapat terjadi […saya sedang tersenyum sambil tertawa sendiri..] tentu kita dapat mengestimasi berapa besar kebutuhan energi untuk perubahan yang kita hajatkan sebagai takaran kejayaan yang kita impikan.
Para Guru Besar, lektor, asisten ahli, student, tenaga kependidikan, bahkan satpam dan tukang sapu pun, memiliki comfort area mereka masing-masing. Sebuah tempat yang mereka hormati untuk menciptakan suar kebaikan dengan daya dan skala energi terbaik mereka. Integritas akademik yang kuat kemudian akan mengubah kesadaran kolektif akan perbedaan skala intensitas energi masing-masing itu kepada suatu muara bersama yakni esensi pencerahan yang menyelamatkan. Mampukah kita menciptakan pilihan untuk menjadikan setiap diridan rumah besar kita [UNS, negeri ini dan bahkan peradaban itu sendiri] sebagai mata air sekaligus muara dari kebaikan yang kita hajatkan itu? Konon, pendaran kecil dari seekor kunang-kunang di dalam gua yang gulita akan terasa lebih indah dan memukau dibanding kilau berlian di antara gugusan bintang. Wallahualam.
What do you think..?