Pohon Pisang Kemuliaan

Saat memberi ceramah dalam acara halal bi halal yang diselenggarakan oleh manajemen LPPM beberapa waktu yang lalu, Prof Sholahuddin menyitir salah satu pesan dalam penggalam firman dalam Al Quran, hal betapa pengasihnya Allah SWT. Dialah Rabb yang menciptakan entitas dan elemen dalam kehidupan dan semesta secara berpasang-pasangan. Kebahagiaan (tawa) dan tangisan, hidup dan mati, pria dan wanita, serta banyak lagi pasangan yang bersifat resiprokal. Namun demikian tatkala berkait dengan pemberian kekayaan, pasangan yang digunakan dalam firman itu adalah kecukupan; bukan kemiskinan.

Pada bagian lain ceramahnya Ustad Udin secara berseloroh bercerita tentang nikmat dengan mengambil contoh atas dirinya sendiri. Diceritakan bahwa sebagai seorang Guru Besar setiap kali bangun pagi beliau ‘terberkati’ sebesar lima ratus ribu. Begitu seterusnya setiap hari. Artinya terdapat seratus delapan puluh  juta nikmat pasti bagi setiap scholar yang berjabatan professor. Maka sungguh benar firman dalam Surat 53 (48). Betapa tidak, ketika seseorang berilmu mengajarkan kebenaran dan hikmah, maka ia menjadi bertambah kaya karena sejatinya tertularnya ilmu pengetahuan dalam cara yang diberkati merupakan sebaik-baiknya tabungan berketerusan bagi setiap jiwa tulus. Dalam segala keterbatasan pemahaman, menjadi jelas bagi saya bahwa kecukupan merupakan pasangan terberkati untuk nikmat kekayaan.

Pada tataran ini kemudian parameter kecukupan ini menjadi sesuatu yang sangat penting. Mengapa demikian? Perspektif fisika yang saya pahami (sedikit) menyatakan bahwa aliran (massa dan energi) hanya terjadi bila telah terpenuhi syarat kecukupan tertentu. Sebagai ilustrasi, bayangkanlah sebuah gelas kosong yang kemudian diisi air. Dalam keadaan alami, sungguh tidak mungkin berharap untuk memperoleh air yang keluar dari gelas tersebut sebelum terisi penuh. Artinya, dalam keadaan seperti itu, ‘faktor kecukupan’ bagi gelas tadi adalah kapasitas atau daya tampungnya.

Namun demikian, dengan logika pengetahuan paling sederhana sekalipun setiap orang mengetahui bahwa air dari dalam gelas dapat dialirkan secara lebih dini (sebelum gelas itu penuh) dengan misalnya memiringkannya atau dengan memasang sedotan dengan cara tertentu. Dalam keadaan demikian, air dapat mengalir keluar secara lebih cepat meski ‘faktor kecukupan’ sebagaimana dimaksud di dalam paragraf di atas belum terpenuhi. Hal yang lebih luar biasa adalah bahwa gelas yang dimiringkan (berada dalam aras kesetimbangan baru) atau diberi sedotan dapat menerima lebih banyak limpahan air dalam jumlah berapapun yang jauh melampaui daya tampung (fisis) gelas itu sendiri. Orang-orang terberkati dan berketulusan, dengan pengetahuan dan hikmah dari Rabb-nya, dalam hal ini memiliki kemampuan untuk mentransformasikan faktor kecukupan dari keadaan parameter yang bersifat fisis yang memiliki dimensi dan terukur ke parameter imajiner tak berdimensi.

Jika boleh menganalogikan aliran air dari gelas yang dimiringkan atau diberi sedotan tadi sebagai bentuk pencerahan dan tertebarnya keselamatan, maka pada titik ini ukuran dan dimensi dalam pengertian fisis menjadi tanpa makna. Maha Suci dan Maha Benar Sang Maha Pengasih yang memuliakan orang-orang berilmu serta jiwa nan senantiasa (berketerusan dengan kesabaran) berbuat kebajikan meski dalam himpitan keadaan di bawah ‘faktor kecukupan’ logika kebendaan mereka.

Hal yang ingin saya kaitkan kemudian dengan persoalan kecukupan diatas adalah; apakah kita sebagai sebuah system dapat membentuk semacam common perspective untuk mencapai keadaan tertebarnya keselamatan dengan segenap kearifan dan akal budi sebagai kaum terpelajar yang (semoga) terberkati?

Saya merasa sangat beruntung bahwa pada hari yang sama selepas menikmati ceramah Ustad Udin, saya berjumpa dan berbincang dengan dua sejawat muda saya (di halaman parkir FMIPA). Keduanya cerdas dan berpandangan maju. Pada keadaan seperti itu saya selalu energized untuk berbincang hal-hal yang membesarkan semangat dan tentu utamanya Rumah Besar kita, UNS. Maka sampailah perbincangan lapangan parkir itu hingga ke soal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 yang mengatur hal ihwal Pendidikan Tinggi.

Saya secara personal memandang Undang-Undang itu sebagai salah satu dari banyak ragam hal yang dapat membawa Rumah Besar kita kepada keadaan yang menebarkan keselamatan dan pencerahan. Saya teringat saat Professor Ravik Karsidi selaku rektor mengutip pasal yang mengatur masa kerja Guru Besar hingga usia tujuh puluh tahun, sebagian besar hadirin bertepuk tangan dengan senyum bahagia. Ini merupakan isyarat yang sangat baik.

Dalam fase pertumbuhan dan perkembangan universitas kita yang sedemikian hebat (Webometric OK dan QS Star terbilang sangat hebat ditambah beragam prestasi dan peningkatan kualitas SDM), prasangka baik dan pemikiran positif wajib dibangun. Bahwa setiap diri kita adalah entitas produktif yang senantiasa berupaya untuk selalu dalam keadaan berenergi maksimal demi menjalankan transformasi faktor kecukupan ke tataran imajiner tak berdimensi. Dalam keadaan demikian maka saya memandang bahwa tepuk tangan yang menyambut ucapan rektor berkait perpanjang masa kerja para Guru Besar boleh diinterpretasikan sebagai gambaran komitmen untuk menyemburatkan lebih banyak pencerahan dan keselamatan di masa depan.

Di akhir perbincangan (di lapangan parkir hari itu), sejawat muda saya yang doktor biologi berbagi hikmah soal pohon pisang. Konon di balik fitrahnya yang sekali berbuah kemudian musnah, sesungguhnya pisang menyimpan sangat banyak ragam kemuliaan. Buah, daun, bahkan batang keringnya pun bermanfaat. Inti pesannya adalah, sebagai scholar, kita semua sesungguhnya dapat mengambil pilihan sudut pandang berkreativitas kita. Tentu sangat bijaksana jika bukan dari pilihan sekali berbuah kemudian punah.

Penelusuran yang saya lakukan di internet (sebelum memustuskan untuk membuat catatan ini) mempertemukan saya kepada profil Guru Besar pisang bernama Rony Swennen dari Kuleuven University. Justru karena memiliki sudut pandang yang tepat dan cinta yang luar biasa kepada pisang, ia telah berbagi pencerahan kepada dunia. Maka sungguh benar bahwa Sang Maha Cinta tidak menyimpan suatu pun dalam setiap proses penciptaan melainkan di dalamnya terdapat esensi yang menyelamatkan. Di dalam yang demikian itu sesungguhnya terdapat hikmah bagi setiap hati yang lembut dan bersedia berbagi secara berketulusan.

What do you think?