Impian Indonesia Jaya dan Virus AHR

Di sela kegiatannya mengikuti konferensi internasional di Chicago, Professor Ari Handono Ramelan menyempatkan untuk berbagi perspektif hal doa dan impiannya akan Indonesia yang jaya di masa depan. Ketika diungkapkan perasaan bangganya karena ditempatkan dengan sangat penuh hormat untuk duduk satu meja dengan lima tokoh besar dalam bidang fisika material dunia termasuk diantaranya pemenang Hadiah Nobel tahun 1985  Professor Klaus von Klitzing dari Max Planck Institute, para pembaca di millist sebelasmaret@yahoogroups merasa takjub. Saya merasakan ungkapan sangat sangat tulus dan penuh respek dari sejawat yang merasa terinspirasi oleh semangat dan kecintaan seorang Ari Handono Ramelan itu. Bahkan, seorang sejawat muda saya yang sangat kreatif dan produktif dalam karya menggunakan kalimat pendek ‘…really proud of you professor..’ sebagai ungkapan respeknya.

Nyata benar bahwa kehidupan dalam Rumah Besar kita rindu pada lebih banyak sosok yang menginspirasi. Teladan yang mampu menjadi pendorong untuk bergeraknya mesin berkreasi; dengan kecintaan, tanpa basa-basi. Virus AHR yang menyebabkan seorang scholar selalu produktif; datang sangat pagi dan pulang malam karena impian mestinya dapat di-clone dan kemudian disebar secara bersemangat agar menjadi endemik di Rumah Besar kita.

Gaya bertutur yang banyak menyertakan ‘kenakalan’ nan tak dipilih oleh para Guru Besar lainnya serta perilaku interaksi yang sangat egaliter justru menjadi semacam branding yang kuat dan dirindukan. Mengapa demikian? Sebagai kawan dekat dan teman diskusi dalam sangat banyak hal, saya mengetahui bahwa itu terjadi karena dilakukan dengan kecintaan. Jiwa yang dipenuhi rasa cinta itu selalu memberi dengan tanpa [memikirkan banyak] syarat. Dalam suatu bincang kecil ia pernah berkata kepada saya bahwa anugerah kehormatan sebagai seorang Guru Besar baginya tidak menyertakan pilihan melainkan perwujudan tindakan dan cara berkarya dengan kemampuan terbaik disertai integritas kuat tanpa henti.

Lalu jika kembali berbincang hal kenakalan. Saya sempat berpikir di dalam hati sendainya saja Ari Handono Ramelan [dan seorang lagi Guru Besar hebat lainnya] berkenan melepas sebentar ‘kenakalan mereka’ dan berkenan menerima insentif bernilai tiga puluh juta untuk meningkatkan indeks publikasi internasional kita, maka terdapat jaminan menenteramkan setidaknya kontribusi publikasi dari mereka berdua.

Ah ternyata justru ‘kenakalan mereka’ itu benar. Bahwa tidak mengambil pilihan tiga puluh juta itu lalu kemudian memilih cara lain untuk menyumbang peningkatan indeks publikasi internasional kini terbukti menyajikan hikmah kepada kita semua; bahwa kecintaan, integritas, dan hasrat berprestasi yang berketulusan bukan saja menjadi jalan untuk munculnya alternatif pilihan bijaksana dan menyajikan dampak dalam berkarya, bahkan [mestinya] membuka [mata hati kita akan] pilihan cara pandang yang lebih elegan bagi kita semua untuk menghormati kesejatian Jabatan Guru Besar.

Terima kasih Professor AHR; semoga [semangat berkarya dan perilaku interaksi nan sangat egaliter itu] menjadi virus yang sangat sangat endemik.