Impian [Konon Tidak] Sederhana Meretas Jalan Pelaku Plagiarism
Selepas lokakarya dengan Komisi Senat Universitas yang membidangi permasalahan karya ilmiah, persoalan academic misconduct termasuk plagiarism terus saja menjadi bahan percakapan dan diskusi dengan beberapa sejawat dan manajer saya di FMIPA.
Dalam dua posting terdahulu saya telah mengemukakan bahwa pada tataran paling rendah, author misconduct khususnya plagiarism terjadi lebih karena keterbatasan kapasistas penulis dalam hal tata cara sitasi yang benar. Namun demikian, dalam tataran yang lebih serius, perilaku tak terpuji itu terjadi karena niat yang sangat nyata dan kuat.
Dalam banyak kasus, sebut saja yang paling terkenal yang dilakukan oleh Jan Hendrik Schon dan Hwang Woo-Suk, tindakan fabrikasi data, falsifikasi, dan plagiarism mereka lakukan dengan sengaja dan sangat terencana. Artinya, dengan kapasitas dan kecerdasan yang melekat pada diri mereka orang-orang ini [sejatinya dapat bekerja dengan hebat tanpa perlu] melakukan tindakan tercela. Jelas sekali bahwa faktor yang oleh beberapa analis disebut dengan istilah ‘tekanan pekerjaan’ yang menimpa sejumlah jenius dalam contoh-contoh kasus plagiarism yang terkenal telah menjadi pengalih ragam (transformer) seorang jenius menjadi plagiarism master yang ulung. Ironis sekali.
Saya bertanya kepada diri sendiri; sebegitu sulitkah impian meretas jalan para pelaku plagiarism ini? Ekspektasi tak wajar, mental koruptif, dan sistem inovasi yang tidak kokoh memang menjadi tiga unsur [yang saya pandang] sebagai pemicu yang sangat merusak. Ilustrasinya telah saya sajikan dalam posting saya sebelumnya. Artinya adalah bahwa akan menjadi sangat tidak bijaksana jika hasrat kita yang besar untuk memberantas plagiarism di Rumah Besar kita UNS Tercinta ini dilakukan tidak secara bersistem dan komprehensif.
Patut diingat bahwa tindak plagiarism itu (lebih banyak tercium) tatkala seseorang telah melakukan publikasi atau bahkan [dalam banyak kasus] saat seorang dosen sedang dinilai karyanya berkait dengan proses kenaikan pangkat.
Dalam sebuah diskusi kecil, seorang sejawat berseloroh, what if jika seseorang memiliki jumlah kum karya ilmiah yang jauh melampaui kebutuhan untuk naik pangkat. Misal saja kebutuhan untuk naik pangkat adalah 100 namun yang bersangkutan memiliki kum 180. Lalu diantara 180 itu terdapat satu saja karya ber-poin 15 yang terbukti secara meyangkinkan sebagai hasil tindakan plagiarism. Apa pilihan terbaik yang harus dilakukan oleh Universitas? (i) Apakah ‘membuang saja’ karya berbobot 15 poin itu dari kumpulan bahan pendukung usulan kenaikan pangkat? (ii) Ataukah menuntaskan kasusnya secara benar sesuai kaidah dan etika akademik?
Dalam hal ini, saya berdoa semoga Tuhan memberikan kekuatan kepada semua orang di UNS ini untuk membuang sejauh-jauhnya dan tidak memberi tempat sedikitpun bagi pilihan (i) di atas dalam ruang bernalar kita. Ada pepatah bijak mengatakan karena nila setitik rusak susu sebelanga. Dampak dari plagiarism tidak saja bersifat personal melainkan menyertakan dampak lain yang bersifat merambat termasuk brand cost dan human cost. Sangat tidak bijaksana menilai ketidakpatutan dengan angka. Persoalannya bukan berkait dengan jumlah melainkan pada niat (para pelaku plagiarism) untuk berbohong.
Oleh karena itu, menyangkut strategi komprehensif dalam sistem inovasi UNS saya memandang bahwa terdapat empat isu [yang sebenarnya sangat praktis dan sederhana] yang dapat dikembangkan untuk meretas jalan para pelaku plagiarism ini. Keempat isu itu adalah sebagai berikut:
1. Budaya Berprestasi sebagai Pilihan Jalan Pembebasan: Starting from the Day 0
2. Value Proposition Issue: The Nature of Bright Idea and the Expertise Marketing Strategy
3. Strong Rule of Conduct and Rule Models
4. Strategic Research Funding Model
Detilnya akan saya sajikan disini SOON.… 🙂