Untuk Bidadari: Tentang Senja di Ladang Besar

[Merasa melihatmu melayang dalam orbit tak teridentifikasi; rasa sayangku tersayat. Maka aku mendatangi Ladang Besar Ayala untuk meraih kembali keseimbangan energiku. Kisahnya kini kubagi untukmu. Ini semua tentang Ferdinan, pria baik hati; aku berharap kebahagiaannya tak semu melainkan sempurna. Yang demikian itu mengingatkanku kepada saat pertama aku menyaksikan kemilau mutiara dalam cawan ruby: Sempurna].

Ferdinan Romiero Ayala adalah generasi kelima dinasti Ayala yang merupakan raja perkebunan tebu dan ladang gandum di negaranya. Seperti biasa, Ferdinan atau lazim dipanggil Tuan Ayala Yunior selalu menikmati senja dengan minum teh di balkon rumah besarnya. Pada momen seperti itu ia selalu ditemani istri dan beberapa pegawai setianya. Tak sedikit dari para pegawai Ferdinan memiliki hubungan kekerabatan. Ini mudah dimengerti sebab orang tua bahkan kakek nenek para pegawai itu telah membangun kehidupan dengan mengabdi kepada dinasti Ayala. Ayahnya Ayala Sr sudah mundur dari pengelolaan bisnis dan memilih tinggal di pulau pribadi di kawasan Karibia.

Sore itu Ferdinan memamerkan sebuah senapan berburu yang besar dengan laras panjang dari merek sangat terkenal disertai alat bidik laser. Dengan bangga ia menceritakan bahwa senapan mahal itu merupakan jenis senjata berburu terbaik yang dapat membunuh babi bahkan gajah sekalipun dengan hanya satu tembakan. Konon senjata itu ia dapatkan sebagai buah tangan dari anaknya yang pulang dari negeri seberang. Dengan senjata besar itu Ferdinan dapat membidik sasaran yang sangat jauh tanpa perlu risau tembakannya akan meleset. Para pegawainya memberi banyak pujian. Sungguh sebuah senjata yang hebat.

Di tengah-tengah puja-puji kehebatan senjata berburu itu, Manuel si Penjaga datang mengahadap. Ia menaiki anak tangga secara terburu-buru dengan nafas terengah- engah. Melihat kejadian itu, Ferdinan yang bijaksana menyuruhnya duduk dan menawarkan secangkir teh wangi. Si Penjaga meminumnya dengan santun. Sejenak kemudian ia berkata, “mohon maaf Tuan, nyonya…., Sektor Empat diserang sekawanan besar babi. Tanaman gandum sebagian rusak…., mohon maaf…., jika berkenan Tuan bisa meneropongnya dari tempat ini…” Manuel menatap tuannya itu sembari tangannya menunjuk kepada senapan besar milik Ferdinan.

Ferdinan berdiri dengan wajah memerah. “Babi-babi sialan….”, gumamnya geram. Ia kemudian bangkit meraih senapan berburu kebanggaanya. Senjata itu diarahkan ke titik Sektor Empat sebagaimana dimaksud oleh Manuel si Penjaga. Dengan teropong canggih pada senapan itu Ferdinan dapat melihat kerusakan yang timbul. Bahkan beberapa ekor babi hutan masih ada disana. Spot warna merah dari berkas laser di senjatanya jelas mengarah tepat mengenai kepala babi terbesar. Kembali ia bergumam, “..hhhhh….babi…! Sial…., babi busuk sialan..!”

“Kau melihatnya sayang…? Kau bisa menembaknya dengan senapan itu. Dagingnya dapat dimakan Manuel dan keluarga para pekerja….” timpal istrinya dengan lembut.

“Benar tuan,….Nyonya benar sekali…” imbuh Manuel pelan.

Ferdinan menoleh serentak, menarik nafas panjang, “Aku tak mau suara senapan ini mengagetkan Ramirez,” uncapnya sambil meletakkan senapannya kembali ke atas meja. Ia kemudian terduduk dalam diam. Ruangan hening seketika.

Melihat kejadian itu, dengan tanpa komando Manuel membungkukkan badan memberi hormat lalu bergegas pergi. Ia memacu gerobaknya dengan kencang kembali ke Sektor Empat. Di pundaknya masih terselimpang senapan kaliber 4,5mm yakni jenis senjata yang biasa digunakan untuk berburu burung oleh para pekerja. Suasana balkon bertambah senyap. Satu per satu orang dekat dan pegawai Ferdinan pamit pergi; menyisakan sang Tuan dan istrinya beserta senapan berburu yang hebat milik mereka.

Perlahan hari beringsut ke malam. Ferdinan dan istri cantiknya menuju peraduan. Para pekerja kembali ke bilik-bilik peristirahatan. Melewatkan malam hingga fajar mengajak kembali kepada ritual keseharian. Di bilik peraduan Ferdinan duduk termenung di kursi panjang. Ia tak bisa terpejam. “Babi…, selalu saja babi…, babi busuk sialan…!” gumamnya dalam hati. Istrinya yang bijaksana bangkit dari tempat tidur, tersenyum, lalu menuju bar kecil di pojok ruangan. Dituangkannya sedikit minuman tequila dan disodorkan dengan lembut kepada suaminya. “Minumlah sedikit…, ini baik bagimu.” Ucapnya setengah berbisik.

Waktu serasa berhenti saat keduanya larut dalam dialog tanpa kata. Mencoba saling mengerti sisi pikiran masing-masing-masing. Dalam hening istrinya berbisik, “Kau tahu, aku sangat mengenalmu sebagai laki-laki yang baik. Dan senjatamu itu…., kau tahu maksudku…kau bisa menggunakannya sayang..”   Ferdinan tak menjawab. Tangannya membelai bahu istrinya. Perkebunan larut dalam ritual sunyi. Hembusan angin menyajikan irama keterasingan dari gesekan dedaunan di batang tebu. Sebelum tidur Ferdinan berdoa agar Tuhan memberkatinya dengan keuntungan dan kekuatan.

Di bagian lain di ujung Sektor Empat Manuel dan beberapa pekerja masih terjaga dalam resah. Sesekali mereka menggoyang boneka kayu yang diberi bunyi-bunyian untuk menakut-nakuti kawanan babi. Namun sepertinya babi-babi itu kian hari kian cerdas dan tak mudah ditipu. Mereka terus saja merusak lahan tebu dan gandum dengan tanpa rasa takut. Sepertinya mereka mengetahui bahwa para pekerja enggan berpatroli di larut malam sebab kobra dan semacamnya teramat banyak di kawasan perkebunan itu.

Esoknya mentari bersinar keemasan. Pagi yang sangat cerah. Suasana perkebunan dan ladang gandum kembali kepada keceriaan semula. Ferdinan masih tetap Tuan penerus dinasti Ayala. Manuel tidak pernah berhenti melapor, selalu tergopoh-gopoh. Babi hutan tak henti membuat kerusakan.

Pagi itu Ferdinan memilih melakukan sarapan pagi di dalam kamar. Pelayan menyajikan makanan di atas meja lonjong di dekat jendela. Sambil menikmati sarapan Ferdian dapat merasakan hembusan angin yang sejuk menerpa wajahnya. Aroma khas bunga tebu menyajikan makna keuntungan di benaknya. Keuntungan manis dari penguasaan pasar setiap tahun. Ia amat menyukai itu. Di sisi lain di atas meja panjang di dalam kamar Ferdianan terpajang senapan berburu laras panjang miliknya, lengkap dengan pembidik laser dan alat peredam.

Menjelang siang ia memulai aktivitas di ruang kerjanya yang luas. Di sana telah menunggu Nona Sanchez sekretarisnya. Sambil membuka lembar demi lembar halaman surat kabar, Ferdinan memberi isyarat agar perempuan paruh baya itu memberikan laporan dan agenda kegiatan yang harus dilakukan hari itu.

Dari tempat duduknya, Nona Sanchez mulai menyebutkan agenda penting secara detil. Sesekali Ferdinan mengangguk. Di akhir laporannya Nona Sanchez menyodorkan amplop besar berwarna kuning.

“Ini dari kantor gubernur…, dibawa kurir pagi ini Tuan…, penganugerahan bintang jasa untuk Tuan akan dilaksanakan minggu depan..”   Ferdinan tersenyum lebar, “terima kasih Nona Sanchez. Katakan kepada Ramirez bahwa ia tak perlu menyertaiku kali ini..” ucapnya kepada sang sekretaris.

“Satu lagi Tuan,…Maurinho putra Tuan Almeida akan kembali pekan ini. Sekarang ia sudah menjadi insinyur Tuan…”

“Baik nona Sanchez, kirim pesan untuk Almeida, katakan bahwa aku ikut senang…, dia sangat beruntung memiliki putra yang cerdas…”  Sanchez mengangguk lalu kembali ke ruang kerjanya. Ferdinan kemudian larut dengan kesibukkannya. Memeriksa beberapa catatan dan hal-hal rutin yang lain. Entah kenapa, ia seperti dihinggapi dua perasaan yang bertolak belakang setelah menerima laporan Nona Sanchez.  Ia merasa dihinggapi kebanggaan luar biasa dengan kabar anugerah bintang jasa untuknya. Bagaimana pun juga itu akan mengangkat status sosialnya menjadi setara dengan Mayor Jenderal Gustav Ortega sahabatnya di angkatan bersenjata. Status itu teramat berarti karena akan memberi dampak penting bagi kelangsungan bisnis dan nama keluarga besarnya.

Di sisi lain, ia merasa sedikit memiliki beban dengan kepulangan Maurinho. Ia sangat mengenal anak bungsu keluarga Almeida itu. Selain cerdas, Maurinho juga merupakan tipe anak muda yang bersemangat dan berpikiran maju. Tentu itu sangat baik bagi perusahaan. Lebih jauh lagi, ayahnya, Almeida adalah kepala mandor yang setia sekaligus sahabat karibnya sejak kecil. Persoalannya, ia merasa belum memiliki rencana apa pun untuk diberikan kepada Maurinho.

Demikian dua hal itu senantiasa mengisi ruang pikirnya setiap hari hingga saat penganugerahan bintang jasa yang dinanti itu datang. Ferdinan datang disertai oleh istrinya dengan perasaan yang sangat berbunga-bunga. Saat ramah tamah berlangsung, tanpa diduga ia bertemua Gustav Ortega sang jendral sahabat karibnya itu. Mereka segera larut dalam cengkrama. Mereka saling bertukar cerita sambil sesekali tertawa terbahak-bahak. Hari ini terasa sangat istimewa.

Keesokan harinya Ferdinan kembali ke rumah besarnya di perkebunan keluarga Ayala. Sambil memandang jauh ke luasnya lahan tebu, ia teringat kembali kepada penggalan ucapan sahabatnya Sang Mayor Jendral Gustav Ortega. Bagaimana pun juga, cerita Ortega tentang bagaimana taktiknya memperlakukan para penghambat kemajuan di kesatuannya menyesaki otaknya.

“Berikan mereka mainan dan ruang mewah sebab sejatinyanya mereka itu hanya mementingkan diri sendiri…, saat mereka bicara…, dengarlah…, tapi jangan pernah gunakan pertimbangannya. Biarkan hatimu tumbuh menjadi bijaksana…, lalu dapatkan kecepatan hanya dari orang-orang muda yang setia..!” demikian kata-kata sang jendral itu sangat mengusik kesadaranya.

“Beri mereka mainan…., beri mereka mainan…, buat mereka sibuk tapi jangan dengarkan…, jangan pernah dengarkan…!”

Benaknya seketika dipenuhi bayang wajah Ramirez, Maurinho, serta beberapa orang yang mengelilinginya setiap hari,  Pada saat yang sama, di teras rumah bercat putih di seberang rumah besar Ferdinan, Ramirez Oteiro duduk di kursi goyang, bersenandung kecil sambil membelai kucing Persia kesayangannya. Konon ia dulu adalah sahabat baik Ayala Senior. Ia telah mengabdi sebagai juru hitung di keluarga Ayala bahkan sebelum Ferdinan kecil lahir. Ia orang terpercaya dalam dinasti. Dengan pengetahuan dan kepercayaan itu ia selalu punya cara untuk merasa layak terus berhitung dan berencana untuk segalanya bagi keluarga Ayala. Ia menyebut dirinya sebagai bagian sejarah.

Saat seorang pelayan melintas di depannya, ia menukas, “Renata, kemarilah…, aku memerlukan bantuanmu…”

“Maaf Tuan…., saya Fernanda…, apa yang bisa saya bantu Tuan Oteiro..?” jawab sang pelayan.  Ramirez memberi isyarat agar sang pelayan mendekat. “Pergilah ke Nona Sanchez, katakan bahwa aku dan Hugo akan ke kota besok pagi. Aku memerlukan uang untuk kaca mata dan alat pendengaran yang baru…, aku tak lagi dapat melihat kecantikan dan mendengar suara kecil Ariana…., kau dengar Renata….?”

“Tentu.., Tuan Oteiro…, saya mendengarnya…, tuan berbicara keras sekali…, lagi pula saya ini Fernanda…” jawab si pelayan sedikit kesal sambil bergegas pergi meninggalkan Ramirez.

Ramirez kembali meluruskan kaki dan merebahkan bahunya ke sandaran kursi goyang kesukaannya. Keriput di dahi, gaya rambut serta kaca mata super tebal memang benar-benar membuat ia tampak seperti warisan sejarah. Satu-satunya kesenangan yang sangat ia nikmati pada saat seperti itu adalah membelai kelembutan bulu Ariana si kucing Persia miliknya.

Saat senja menjelang, Ferdinan tiba di rumah besarnya. Malam harinya ia mengadakan pesta, berbagi kegembiraan dengan semua pegawainya. Mereka larut dalam suka cita. Malam yang sangat istimewa, banyak puja puji, banyak makanan, banyak rasa senang.Di bagian lain perkebunan kesenangan lain berjalan dengan tak kalah marak. Kawanan babi berpesta pora seolah tak ingin terlewat dalam kegembiraan sang penerus dinasti Ayala. Mereka merusak lahan gandum dan tebu dalam skala yang melampaui kejadian-kejadian sebelumnya.

Keesokan harinya Ferdinan bangun disertai perasaan terberkati dengan kepuasan. Bahkan sangat puas. Di atas meja panjang di dalam kamarnya kini ia memiliki tambahan lambang kejayaan. Bintang jasa yang berbinar terasa cocok dengan senjata berburu laras panjang dengan pembidik laser berperedam pula. Ia merasa sangat jantan setiap kali memamerkan kedua benda itu kepada setiap orang. Demikian ia mengawal perasaan itu dengan cara istimewa, menyimpan keduanya di dalam tempat pajangan yang terkunci rapat.

Di gubuk kecilnya Manuel menikmati sarapan pagi. Sambil berseloroh ia menoleh kepada istrinya, “jika saja aku memiliki senjata sehebat senjata milik Tuan Ferdinan, akan kubawakan kau babi gemuk setiap hari, kita tidak akan kekurangan daging lagi…” ucapnya lirih.

Istrinya menoleh sambil tersenyum, lalu berbisik di telinga Manuel, “Manuel sayang, pergilah bekerja dengan baik, buat Tuan Ferdinan senang karena aku sudah sangat senang dengan dirimu yang sekarang…”

Manuel tersenyum, “terima kasih Donita Arona Manuel, aku sangat mencintaimu, mari kita berdoa semoga Tuhan memberkati kebun dan ladang Tuan Ayala agar hidup kita menjadi lebih benderang dan bahagia di masa depan”  ***