Reborn UNS: Warna Indonesia dalam Citra Kelas Dunia

Beberapa pekan yang lalu kita semua keluarga besar UNS diberkati (saya menyebutnya demikian) dengan apresiasi yang menempatkan rumah besar kita, UNS, dalam barisan universitas terbaik di negeri ini menurut versi Webometric. Berkait dengan hal itu saya merasa memiliki banyak alasan yang baik untuk berterima kasih dan memberi penghargaan kepada sejawat saya yang telah bekerja keras untuk pencapaian itu; dan tentu pula kepada kita semua yang telah berbagi energi dalam perspektif bekerja dan cara bertindak kita setiap hari; bahwa kita mampu berkompetisi untuk menjadi lebih baik, atau setidaknya kita berbeda dengan siapa pun!

Pada kesempatan berbeda, hari kamis yang lalu, seorang pejabat berwenang, sahabat saya, menunjukkan data jumlah calon mahasiswa baru yang tidak melakukan daftar ulang. Saya memandang angkanya sangat pantas untuk menjadikan setiap manajer dan kita semua merenung, untuk kemudian menciptakan tindakan penyelamatan kreatif jangka panjang. Tentu ada faktor signifikan yang sebelumnya tidak terintegrasikan dalam pola seleksi calon mahasiswa baru kita. Apa pun faktor itu harus ditemukan dan jalan keluar yang cerdas harus dapat diciptakan. Angka yang melampaui nilai 20% untuk jumlah calon mahasiswa yang tidak melakukan daftar ulang secara sederhana mengandung makna bahwa sedikitnya 20% pendaftar yang lolos seleksi berpandangan bahwa value yang dimiliki oleh jurusan atau program studi kita berada di bawah value yang ditawarkan oleh institusi lain! Dalam kalimat yang lebih sederhana, dapat saya katakan bahwa lebih dari 20% pasar kita telah direbut oleh orang lain! Siapa pun yang mengenal salesmanship dan manajemen pemasaran secara baik akan mengatakan bahwa isyaratnya sudah jelas, saatnya bagi kita untuk menata ulang ‘cara berbisnis’ secara lebih kreatif. Mudah-mudahan para manajer di setiap lini berkenan membaca isyarat itu dengan bijaksana.

Tentu terdapat banyak yang patut direnungkan dari realitas dalam kedua paragraf di atas. Saya tidak akan menyebutnya dengan kontradiksi, karena saya meyakini terdapat domain yang sebenarnya dapat diciptakan sehingga kedua persoalan tersebut dapat terajut apik menjadi jala penuai kejayaan di masa depan. Jala kejayaan yang menjadi jalan untuk mencapai pembebasan kreatif, penghapus batas dan belenggu karena kita memiliki kesadaran deteritorialisasi yang tertanam secara baik.

Jika kini jelas sudah bahwa sedikitnya 20% pasar kita telah direbut orang lain, tentu pantaslah untuk bertanya pada diri kita masing-masing; bagaimana pencitraan kita selama ini? Efektifkah ‘mesin dan strategi pemasaran’ yang telah kita laksanakan selama ini? Jika boleh meminjam terminologi dalam manajemen marketing MarkPlus Pak Hermawan Kertajaya, angka 20% itu mendorong saya untuk bertanya, apa yang selama ini telah kita lakukan untuk mengelola ‘pasar’? Bagaimana segmentation, targeting, positioning, serta differentiation kita?

Dalam hal pencitraan, mungkin sebagian dari kita akan mengatakan bahwa kita antara lain telah mengeluarkan dana yang cukup besar (dalam ukuran UNS) untuk program khusus di televisi. Saya ingin mengatakan, itu merupakan program yang baik dan kita tahu pasti telah dilakukan dengan sangat serius. Karenanya, saya dapat katakan bahwa kita masih memiliki lebih banyak alasan baik untuk membuatnya menjadi lebih baik secara strategis di masa depan. Sederhana saja, dalam hal segmentasi misalnya, kita semua tentu tahu seperti apa segmen pemirsa media tv lokal yang menjadi mitra pencitraan kita. Masih bolehkah membangun ekspektasi bahwa akan timbul impact yang dapat mendorong munculnya ‘Warna Indonesia’ dalam kehidupan kampus kita dari program penyiaran dalam segmen pasar sangat terbatas??

Disaat kita begitu bersemangat & telah mulai mencapai tataran rangking yang begitu hebat di tingkat dunia, apakah bijaksana tetap membentang layar pertunjukan hanya untuk segmen yang begitu sempit dan telah memiliki opini mereka sendiri? Marilah sejenak tengok satu sisi saja kedalam; Pernahkah kita secara serius mempertimbangkan fakta demografis asal mahasiswa baru kita?? Faktanya begitu jelas bahwa kita telah kehilangan 20% pangsa pasar pada segmen yang selama ini kita kelola. Alangkah baiknya jika kita memulai secara kreatif mempertimbangkan ruang pasar yang baru. Fakta ini merupakan alasan yang baik untuk mulai berpikir deteritorialisasi karena sesungguhnya Indonesia ini merupakan pasar yang begitu luas.

Ah…, tentu ada penjelasan akademik yang dapat menjadi garis merah penghubung dua realitas di atas; ranking Webo dan Warna Indonesia dalam kehidupan kampus kita. Betapa indahnya, semoga kita diberkati agar dapat menyatukan daya dalam ikhtiar Reborn UNS: Menciptakan Warna Indonesia dalam Citra Kelas Dunia; saat ini memang kita belum menjadi yang terbaik, tapi setidaknya kita yakin berbeda dengan yang lain! Insya Allah.