[Nasehat] Untuk Anakku
Bila sekedar letupan dan kilau kembang api, tiupan terompet nan memekakkan telinga dan alunan lonceng di awal hari yang menuntunmu ke kerumunan riuh akhir tahun, maka aku sejatinya menjadi gelisah, anakku.
Ada terbersit ketakutan mendalam nan sangat, bahwa kau, kita, telah sangat menempatkan asa dan kegembiraan nan terlampau dalam setiap detik hari ini. Bukankah ia sama dengan bilangan detik di tiga ratues enam puluh empat hari yang telah lalu?
Duhai anakku, jika kau begitu larut dalam dalam kegembiraan ini, sungguh ada ketakutan bahwa tatapanku menjadi lamur dan tersesatkan oleh kilau dan bebunyian lalu kemudian mabuk dalam buaian yang diciptakan oleh kebodohanku. Rindu kepada ihwal yang tak tergapai angan-angan.
Marilah mendekat, duduklah sejenak di sampingku. Aku ingin bersamamu mengingat kembali bilangan masa. Adakah kau ingat di dalam tiga ratus enam puluh empat hari yang telah kita lalui, berpa banyak hati yang kita gembirakan? Telah berapa jauh kita telah menjadi penyebab kebaikan? Adakah kita senantiasa dirindukan? Ataukah malah sebaliknya?
Mendekatlah kemari agar aku bisa berbisik padamu. Ketahuilah olehmu, bahwa keriuhan paling riuh dan kemilau paling kilau adalah hening dalam benderang penyatuan hati dan akal budi. Maka jika kau berkenan, eloklah jika kita hanya lebih banyak masuk ke dalam pusat benderang semesta. Ia tak jauh jika kau berkenan menggapainya. Temukanlah iitu di dalam hatimu, tempat Sang Maha Memiliki Masa menancapkan isyarat yang menuntun akal budi. Itulah pena penggurat kisah. Menjadi pengingat lagi penyemangat. Maukah kau bersamaku untuk iringi tiap detik hari ini, dengan cinta dan hasrat pemicu kebaikan, selalu begitu, sebab ia tak lebih dari bilangan masa yang telah kita lalui kemarin dan hari-hari sebelumnya?
Sebab aku teramat mencintaimu.