Berharap Keteladanan

Saya ingin berbagi tiga penggal cerita yang pagi tadi telah saya posting di milis dosen di yahoogroups. Ini soal sertfikasi dan hasrat untuk tumbuh menjadi berjaya karena berdaya.

Yang pertama kisah tentang sahabat saya yang kini mengemban amanah sebagai seorang seorang ketua jurusan. Saya memandangnya sebagai kategori pemimpin yang bijaksana sekali gus dosen yang menjalankan semua tugas akademiknya dengan sangat baik. Mengajar, membimbing mahasiswa, melakukan (dan memenangkan beberapa kompetisi) riset dan melakukan desiminasi pencapaiannya. Sahabat saya ini telah mengajar bahkan disaat saya masih menjadi mahasiswa. Menyandang gelar S3, dedikasinya untuk UNS pun teruji. Sahabat saya ini juga dipercaya sebagai seorang asessor BAN PT hingga saat ini.

Penggal cerita berikutnya adalah kisah seorang dosen yang telah mendedikasikan masa lebih dari tiga puluh tahun dalam hidupnya dengan segala sukacita dan spirit yang dimilikinya untuk UNS. Saya diberitahu oleh kawan saya yang lain, seorang pembantu dekan, bahwa sang dosen tadi akan memasuki masa purna tugas dalam kurun masa yang kurang dari empat tahun lagi.

Penggal cerita ketiga; beberapa tahun yang lampau saya pernah mendapat amanat untuk tugas mewawancarai calon tenaga akademik baru. Alhmadulillah, calon tenaga akademik baru yang saya wawancarai itu, kini menjadi sejawat dan sahabat saya. Dia produktif, sangat rajin bekerja dan mengurus pangkat, memiliki komitmen dan dedikasi, dan kini sedang berjuang untuk mendapatkan gelar S3.

Hal yang serupa dalam masing-masing karakter dari tiga penggalan di atas adalah bahwa mereka semua memiliki dedikasi yang baik meski jelas terdapat perbedaan dan atau keunggulan antara satu sama lain diantara ketiganya. Perbedaan lainnya adalah, karakter pertama dan kedua tidak terkategorikan sebagai orang yang mendapat tempat untuk disertifikasi tahun ini, sementara karakter ketiga memperolehnya.

Tentu ada pijakan yang digunakan untuk penentuan kelayakan seorang dosen yang akan disertifikasi. Sempat saya bertanya kepada diri sendiri, membatin; parameter apa yang tidak dimiliki oleh sahabat saya yang ketua jurusan sehingga tidak terkategorikan untuk layak sertifikasi saat ini? Saya mendengar pula pendapat dan perspektif banyak sejawat saya yang juga merasa gelisah dengan persoalan ini. Saya pun mencoba mengingat lagi batasan di dalam fundamen hukum proses sertifikasi ini. Jelas sekali, fundamen hukum itu memberi ruang yang sangat fleksibel bagi masing-masing PT untuk menjalankan proses sertifikasi itu sedemikian rupa sehingga dapat menjadi pendorong yang baik bagi peningkatan kinerja dan profesionalisme. Saya memandang itulah sebab mengapa aspek legalnya hanya mengatur persyaratan gelar dan masa kerja yang minimal.

Dalam perspektif peningkatan kinerja dan profesionalisme itulah tentunya ‘ketentuan setempat’ seperti yang diberlakukan sekarang di UNS berjalan. Pertanyaan sederhana saya, bagaimana bentuk jawaban yang dapat diberikan oleh para penggagas keputusan soal persyaratan sertifikasi seperti yang berlaku sekarang? Bagaimana menjelaskan peningkatan kualitias dan profesionalisme jika aspek legal dari sebuah kebijaksanaan justru menjadi persoalan karena tidak memicu keselarasan yang menjadi syarat pemberdayaan dalam proses berprestasi? Saya memandang sejak pada titik inilah benih keteladanan itu tidak diciptakan.

Memang benar bahwa di dalam semangat besar kita menuju world class university, sistem kita memang harus mendorong setiap elemen di dalamnya untuk mencapai tataran kinerja maksimal, bertambah dan terus bertambah. Kita wajib bersyukur bahwa kita memiliki banyak pasukan muda yang cerdas dan bersemangat. Mereka memenuhi persyaratan administratif dan karenanya kemudian layak disertifikasi. Itu merupakan karunia yang baik bagi universitas kita.

Yang mungkin tidak sengaja terabaikan oleh kita semua adalah empati kepada sejawat kita, yang secara legal sebenarnya memenuhi syarat untuk sertifikasi, seperti karakter dalam penggalan cerita pertama dan kedua di depan. Dalam tingkatan manjemen profesional sehebat apapun, ruang empati itu dibutuhkan untuk menjamin sistem berjalan secara selaras. Tanpa keselarasan jangan berharap tumbuh pemberdayaan maknawi. Saya sempat bertanya dalam hati, apakah tidak ada satu atau dua orang pemimpin fakultas yang dengan gagah perkasa bak panglima di medan laga, yang dengan elegan berkata, “saya adalah jenderal di lapangan yang mengenal setiap karakter dan kemampuan setiap orang dalam pasukan saya. Saya mengetahui dengan baik, siapa yang unggul dan setia diantara mereka. Saya mengetahui lebih banyak dari siapa pun, dan oleh karena itu saya menjamin kualitas mereka dengan kehormatan saya!”

Lalu saya pun bilang kepada diri sendiri; “Sudah, sudah, telah kau dengar sendiri bahwa sahabatmu yang lain telah melakukan itu bahkan dengan suara sangat lantang.” Seorang sahabat saya yang pembantu dekan memang menyuarakan itu dengan tanpa lelah, bahkan terkadang menjadi sangat emosional. Saya pun bertanya dalam hati, tembok hati sehebat apa yang kokoh bertahan terhadap kekuatan kearifan dan empati yang disuarakan sahabat saya tadi?

Sejawat sekalian yang saya hormati. Apa pun baik dan buruknya, mari secara profesional dan penuh kearifan kita jadikan proses sertifikasi yang sedang berjalan ini bagian dari transformasi, dan semoga menjadi jalan yang diberkati untuk menggapai kejayaan universitas berkualitas dunia. Ludah yang sudah tumpah, jangan kita jilat lagi; saya sangat yakin terdapat sangat banyak alasan baik untuk menjadi lebih baik. Mari bersama-sama ciptakan langkah kecil kebaikan setiap awal hari, sehingga kita dapat mensyukurinya di setiap akhir hari. Kita memiliki impian dan harapan besar bersama. Karena hal itulah kita bekerja dan berdoa. Membangun sistem inovasi agar diberi kekuatan dan anugerah untuk mampu berprestasi. Semoga, insya Allah, akan ada keteladanan yang tercipta dari proses ini. Saya ingin mengatakan alasan saya menyukai mercu suar; kemilau benderang sorot cahayanya harus selalu berada dan terus menerus berasal dari bagian tertinggi, karena hanya dengan cara begitu kemuliaan dan kebermaknaannya yang menyelamatkan terasa nyata.